Up Selling, Jual dan Jual Lagi
Sebenarnya saya harus berterima kasih kepada mas yang ngeramasin saya tadi pagi di salon, karena dia saya jadi terinspirasi menulis artikel ini.
Kenapa dia bisa menginspirasi? Gimana nga, dari pertama saya duduk dan dia mulai bekerja, dia ga henti-hentinya menawarkan produk-produk tambahan dan pelengkap, dari mulai shampo : “Mbak, shamponya mau apa? Untuk kulit kering rontok, kulit kering ketombe, berminyak rontok atau berminyak ketombe?” (lalu saya jawab dengan mmhh... apa aja deh mas) “oh berminyak rontok?” (oh iya boleh) “kalau itu nambah 5000 mbak” (oh yang biasa aja deh mas) “oke”
Lalu beberapa detik kemudian dia bertanya lagi “rambutnya halus banget yah, tapi kalau ga pakai conditioner nanti kaku-kaku, pakai conditioner ga nih?” (iya boleh) “conditionernya yang merk apa? Kalo merk XX tabah 7500 kalo yang XXX Cuma 5000 mbak” (ga usah pake conditioner deh) “oh oke mbak”
Lalu belum lagi selesai dia udah nanya lagi “Nanti digunting atau diapain?”(digunting) “Ga sekalian dikeriting aja?” (oh nga mas). Lalu dia melanjutkan lagi “Mbak sambil digunting nanti mau dipesenin makanan apa? Ada mie ayam, baso, ketupat sayur, ayam saos mentega juga ada, trus minumannya biasa pada pesen teh botol, tapi fresh tea ada juga, air mineral, atau teh kotak?” Spontan saya langsung jawab (nanti aja deh mas) sambil deg-degan dia bakalan bacain harganya satu-satu.
Nah perilaku yang kayak gini ini kalau kita pernah dengar yang namanya up-selling, yaitu suatu approaching lebih lanjut atau penawaran produk tambahan dari produk yang telah konsumen beli sebelumnya. Tapi saya jujur saja terpukau dengan salon yang jadi langganan saya ini, mas yang ngeramasin saya itu adalah hanya 1 dari semua karyawannya yang terus melakukan up-selling. Dan proses up-selling ini tidak hanya berlangsung dari saat kita memesan (yang biasa kita alami di restoran), tapi di seluruh proses yang kita alami. Pada saat awal, pengerjaan di setiap tahap, pembelian makanan sampai proses pembayarannya pun petugasnya masih menawarkan “Mbak mau beli vitaminnya untuk perawatan rambut di rumah?” Sampai-sampai saya pengen liat SOP mereka masing-masing seperti apa.
Namun dalam meningkatkan penjualan, up-selling itu penting. Up-selling sendiri terdiri dari banyak kategori dan banyak cara, hanya saja pada intinya tujuannya adalah untuk memenuhi 1 dari 5 credo Creative Sales yaitu bagaimana caranya konsumen membeli lebih banyak.
Apakah salah? Apakah mengeksploitai konsumen? Tergantung! Tergantung dari apa yang Anda tawarkan ke mereka, jika semua produk yang ditawarkan memberi manfaat lebih tentu saja Anda menawarkan tambahan solusi kepada mereka. Seperti para petugas salon tersebut, saya mengartikannya sebagai bentuk perhatian mereka terhadap rambut saya, mengingat saya sudah lama sekali berlangganan di salon tersebut dan mengetahui betapa profesionalnya orang-orang yang bekerja di sana.
Namun jangan salah, konsumen dapat merespon baik dapat juga negatif, seperti ibu saya yang kalau ditawari macam-macam selalu jawabannya “tidak” tanpa berpikir produk itu penting atau tidak, karena sudah bersikap defensif dan bahkan lebih buruknya lagi ia tidak mau pergi lagi ke tempat-tempat yang ia tahu bahwa petugasnya akan menawar-nawarkan produk tambahan. Lalu harus seperti apakah yang pas untuk konsumen?
Namun sebelum saya jawab, saya ingin sharing satu kasus lainnya. Salah seroang dari klien kami pernah bercerita kalau dia heran kenapa toko pesaing yang menjual produk yang sama dengan dia bisa menjual produk tersebut dan laris sedangkan ia tidak. Lalu saya mengunjungi toko yang ia maksud dan melakukan observasi. Lalu saya bandingkan dengan pengalaman berbelanja di toko klien saya. Kesimpulannya hanya 1, petugas di toko pesaing tau bagaimana menjelaskan manfaat dari produk yang dijual sehingga menciptakan keinginan membeli, dan bahkan mereka melakukan approaching tidak hanya hingga pada tahap informasi tapi hingga tahap membujuk.
Dan hal ini lah yang memberikan nilai lebih, sehingga konsumen ditarik hingga ke dasar emosional kebutuhan mereka terhadap produk (mungkin awalnya secara logika mereka tidak tertarik, tapi konsumen dapat dipengaruhi secara emosional, dan hal ini hanya bisa dilakukan dengan “tindakan lebih” dari sekedar memajang produk di toko atau memberi menu jika industrinya restoran).
Berikut merupakan gambaran dasar dari proses yang konsumen alami berkaitan dengan kebutuhan interaksi petugas kita dalam menciptakan action pembelian dari rumus dasar AIDA, yah saya katakan rumus dasar karena AIDA ini sudah berkembang cukup banyak mulai dari AIDSA, AISDA dan lain-lain. Kita ambil yang sederhana ajah yaitu AIDA :
Dalam menciptakan keberhasilan up-selling tersebut terdapat 2 komponen yang penting :
1. Standarisasi
Biasa kita tau dengan SOP (standard operation procedure), hal ini harus ditentukan dari perusahaan. Produk apa yang ditawarkan kepada siapa di saat apa, dan bagaimana cara menawarkannya. Petugas harus ditraining agar hafal dan menjalankan serta memanfaatkan momen intens dengan konsumen sebagai momen untuk meningkatkan penjualan.
Contoh yang paling menarik lagi-lagi saya ambil Pizza Hut, di mana dalam proses konsumen datang hingga pulang ada titik-titik yang mereka jadikan titik peluang meningkatkan penjualan. Dari mulai pas kita memesan, mereka selalu menawarkan minuman lain, es krim, produk baru, paket, dll. Lalu pada saat kita sudah selesai makan biasa mereka mendatangi lagi dan bertanya lebih dulu “Gimana makanannya enak hari ini?” baru kemudian ia mulai menawarkan dessert. Dengan bertanya lebih dulu, secara psikologi mengalihkan perhatian konsumen dan merasa bahwa komunikasi yang dijalin adalah 2 arah tidak semerta-merta berjualan saja.
Semakin bagus SOP yang dibuat dan semakin bagus sistem trainingnya maka pelaksanaannya akan semakin baik. Permasalahan utama dari komponen ini adalah perusahaan tidak memberikan training yang memadai terhadap petugas, jadi jangan harap bisa seperti Pizza Hut, karena mereka menginvestasikan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk memiliki tim pelayanan yang hebat.
2. Karakter dasar
Lalu yang kedua dan terakhir adalah karakter dasar dari service people yang Anda miliki. Sebagus-bagusnya SOP dan sistem training, jika orang yang Anda tempatkan adalah orang yang salah, yang tidak memiliki ketertarikan di bidang service maka tidak akan maksimal. Jadi proses recruitment sangat penting. Kesalahan yang sangat umum terjadi adalah meremehkan proses recruitment dan penempatan posisi yang salah.
Jika Anda sering bertemu dengan pelayan toko atau restoran yang jutek nah ini lah hasil dari kesalahan ini. Sama-sama perusahaan franchise internasional seperti Pizza Hut, salah satu fast food tidak bisa mengimplementasikan SOP dengan baik karena karakter dasar orang-orangnya yang tidak sesuai. Jadi SOP mereka bacakan, mereka lakukan tapi tidak dengan sepenuh hati, tanpa senyum dan tanpa adanya kepedulian nyata kepada konsumen.
Jadi jika Anda ingin meningkatkan penjualan, salah satu komponennya adalah Anda dapat menggarap konsumen Anda sendiri, agar bisa mengkonsumsi lebih banyak solusi (produk) dari Anda. Salah satu caranya selain memang menyediakan produk komplementer tersebut, kemudian menawarkannya dengan cara yang tepat. Cara yang tepat tersebut membutuhkan SDM yang handal dan standarisasi yang telah dipikirkan dengan matang, agar sampai ke konsumen berupa solusi dan menyadarkan mereka bahwa manfaat dari produk komplementer tersebut penting bagi mereka.
sumber gambar: http://www.netbuilder.com.my
Posting Komentar