Apakah ada yang sudah mengetahui bahwa brand air mineral Ades mengeluarkan kemanasan baru? Pergantian desain kemasan air mineral ini tidak hanya dari sisi desain label nya tapi juga dari sisi bentuk dan spesifikasi plastik yang digunakan.
Pada saat saya membelinya di sebuah kedai roti, saya sempat pangling dan bertanya hingga 2 kali ke si petugas, mbak ini Ades yang biasanya? Si petugasnya mengatakan betul, mereka mengganti kemasan, dan saya baru percaya saat membaca ada tulisan Coca Cola Company di kemasannya.
Masalahnya karakter desain yang Ades pilih sebagai identitas barunya ini meurut saya adalah karakter yang cukup di luar kebiasaan di industri air mineral di Indonesia. Salah seorang teman saya mengatakan bahwa karakter desain air mineral serupa ditemukan di Jepang, yang memang lebih mengarah pada alam dan embun (warna hijau), dan memang kenapa saya merasa ini sesuatu yang berbeda dan membuat pangling adalah yang biasanya air mineral menggunakan warna biru (seperti kemasan Ades sebelumnya), saat ini Ades lebih memilih keluar dari crowd dengan menggunakan warna hijau.
Setelah membaca keterangan pada kemasan barulah saya tahu bahwa ternyata di balik pemilihan warna dan perubahan desain kemasan adalah adanya re-positioning brand Ades yang saat ini mengusung pada eco-friendly. Mereka mengusung konsep ramah lingkungan, sehingga warna yang digunakan pun setema dengan konsep tersebut. Tertulis pula bahwa berat dari botol plastik saat ini lebih ringan dari yang sebelumnya dan dapat diremukkan sehingga mudah di daur ulang. Pada kemasan pun tertera instruksi untuk meremukkan botol setelah kita menggunakan (hal yang masih jarang sekali dilakukan oleh konsumen dalam kebiasaan konsumsi air mineral).
Keluarnya Ades dari pakem umum industri air mineral bisa jadi satu gebrakan baru untuk menciptakan sesuatu yang baru, paling tidak Ades ingin mencoba mengedukasi para target marketnya perihal kesadaran untuk beramah lingkungan. Tapi apakah hal ini akan mendukung peningkatan penjualan dan menaikkan pangsa pasarnya dibandingkan pesaing? Saya belum bisa berpendapat sekarang, karena saat ini saya belum melihat aktivitas apapun dari langkah sosialisasi konsep baru brand Ades ini.
Mungkin bisa jadi pola yang dulu pernah terjadi pada brand Nestle Pure Life, di mana saat itu konsumen cukup jenuh dengan kemasan brand Aqua, lalu Pure Life masuk dengan kemasan yang sungguh menarik dan mengundang konsumen untuk mengambilnya saat di etalase, dan didukung dengan brand Nestle yang sebelumnya telah memiliki Brand Equity yang cukup baik, pada akhirnya Aqua memiliki “pengganggu pasar” baru secara nasional. Namun pada saat saya melihat redesain kemasan Ades ini perasaan jatuh cinta yang dulu muncul di kemasan Pure Life tidak terulang. Dan dari opini pribadi saya, dari sisi logo baru maupun kemasan baru Ades ini kurang menggigit, bahkan lebih menyerupai seperti brand-brand air mineral private label yang sering kita jumpai di Carefour, Hypermart atau Indomaret.
Sempat saya berpikir dengan kurang kuatnya karakter yang dibawa oleh re-branding Ades ini cukup banyak bergantung pada konsep komunikasi dan aktivasi yang menyertainya untuk dapat menciptakan daya tarik konsumen mau memilih Ades. Melihat bahwa persaingan di industri air mineral ini cukup didominasi dengan kemampuan distribusi yang luas. Melihat kondisi ini, bisa jadi lebih baik untuk Ades fokus dalam niche market yang cukup memiliki kepedulian dalam konsep go green yang mereka usung.
Konsep Go Green memang akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh para brand. Dari mulai yang ikut-ikutan saja sampai yang memang peduli dan menjadikannya salah satu value di dalam perusahaan. Jika saya perhatikan, rata-rata perusahaan dari luar negeri yang sepenuhnya sudah comit dalam mengimplementasikan go green ini, sementara di Indonesia seringkali hanya go green-go green-an.. seperti jika kita masih ingat beberapa tahun lalu Carefour sempat mencoba menjalankan konsep go green ini, mereka tidak menyediakan kantong plastik, tapi bagi mereka yang berbelanja boleh memakai dus atau membeli kantong kain atau membawa sendiri kantong kain. Tapi apa hasilnya? Hanya beberapa bulan saja mampu bertahan setelahnya mereka kembali menjadi raksasa penyumbang sampah plastik yang cukup besar hingga sekarang.
Lalu apakah sebaiknya kita sebagai sebuah perusahaan menjalankan konsep go green dalam marketing? Seperti yang akhir-akhir ini banyak di bahas, yaitu green marketing? Seberapa jauh hal ini akan mempengaruhi value positif kepada konsumen dan apakah akan mempengaruhi performa penjualan?
Berikut adalah beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam mengaplikasikan konsep green marketing tersebut.
1. Siapa target market Anda?
Kembali ke dasar awal. Saat anda memiliki suatu ide pemasaran tertentu, jangan pernah lupa bahwa Anda harus berangkat dari konsumen Anda. Siapa target market Anda? Karakter seperti apa yang mereka miliki? Apa preferensi mereka, hal-hal yang mereka pedulikan, faktor keputusan pembelian, dll. Isu global warming sudah cukup besar di seluruh dunia, hanya saja bedanya tidak semua orang peduli. Apakah konsumen Anda adalah orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap hal tersebut? Tentu Anda harus memahaminya. Jika Anda belum memahaminya, Anda bisa melakukan riset kecil-kecilan untuk mengetahui kecenderungan mereka terhadap hal tersebut.
Di Indonesia, dengan sangat sedih saya bilang bahwa sebagian besar tidak benar-benar peduli terhadap global warming. Tidak hanya dari masyarakatnya tapi terkadang kita menemukan banyak kasus penebangan hutan liar yang dibiarkan oleh pemerintah, dan opini saya adalah itu bagian dari ketidakpedulian terhadap penyelamatan bumi ini.
Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya peduli, bisa jadi karena kondisi ekonomi masih jadi PR besar bagi mereka, jadi mereka tidak terlalu mempedulikan hal-hal yang kurang ada korelasinya dengan ekonomi mereka ini atau bahkan malah merugikan. Tapi jika Anda memiliki kelompok segmentasi menengah atas atau dengan kelompok target market yang memiliki tingkat edukasi tinggi, memiliki akses informasi yang luas, bisa jadi mereka cukup peduli.
Brand-brand besar seperti The Body Shop, Luis Vuiton dan Mercedes adalah beberapa brand yang menjadikan value go green sebagai value brand mereka. Di Indonesia, brand-brand tersebut memiliki target market dengan karakteristik yang disebutkan di atas, menengah atas dan memiliki tingkat edukasi tinggi. Hal ini menjadikan brand memiliki value yang dipandang positif oleh target market. Dan semakin meningkatnya value brand tersebut memberi sumbangsih pada meningkatnya peluang keputusan pembelian terhadap brand.
2. Pikirkan matang-matang dan jangan setengah-setengah!
Jangan lakukan sesuatu hanya karena ikut-ikutan, terlebih terkait dengan campaign go green. Membagikan kaos bertuliskan go green bukanlah suatu tindakan menjalankan go green. Dan bisa jadi akan tercetus omongan seperti ini di konsumen Anda “bagi-bagi tulisan Go Green tapi masih pakai kantong kresek”. Nah, hati-hati ya, karena kita tidak bisa membatasi pemikiran konsumen yang sudah semakin kritis sekarang-sekarang ini.
Kalaupun kita tidak bisa melakukan aktivitas go green ini sampai tuntas, dalam arti seidealis seharusnya, minimal value go green ini tidak hanya dijadikan promosi tetapi juga melekat dalam perubahan culture perusahaan. Seperti salah satu convinience store Circle K yang cukup gencar mengkampanyekan Go Green, sejak 2 tahun lalu melalui kalender kampanye mereka, mereka juga menerapkannya secara menyuluruh, salah satunya yang paling sering Anda alami jika sering berbelanja di sana adalah SOP dalam penggunaan kantong kresek, di mana konsumen akan ditanyakan terlebih dahulu apakah mereka mau memakai kantong kresek atau tidak.
3. Terapkan dalam inovasi!
Green marketing yang sesungguhnya adalah saat konsep kepedulian dengan alam tersebut diterapkan dalam produk yang dijual sebuah perusahaan/brand. Kepedulian terhadap penyelamatan bumi tersebut tidak hanya digunakan sebagai propaganda promosi untuk sekedar ikut-ikutan atau mengambil hati konsumen, tetapi juga sebagai bentuk sumbangsih perbaikan alam terhadap semua manfaat yang telah diambil dalam proses bisnis.
Salah satu contoh yang dilakukan oleh Luis Vuiton, saya pernah membacanya dalam sebuah print ad mereka di majalah TIME, bahwa mereka mengalihkan transportasi untuk mengangkut bahan baku dan produk mereka dari alat transportasi kereta menjadi pesawat terbang untuk menghemat bahan bakar. Karena penghematan bahan bakar tersebut akan berdampak pada penghematan sumber daya alam yang digunakan.
Beda lagi dengan yang dilakukan oleh Mercedes baru-baru ini, pada saat mereka me-launching produk barunya dengan menggunakan teknologi F-Cell hydrogen fuel cell technology. Yang menarik adalah salah satu viral campaign nya yang disebar melalui social media You Tube berjudul Invisible Car berikut ini.
Green Marketing yang diterapkan oleh Mercedes tidak main-main, karena value tersebut mereka tanamkan hingga ke proses inovasi produk yang mereka lakukan. Konsep dari invisible car tersebut adalah bahwa mobil Mercedes tipe ini nyaris tidak memberi dampak pada lingkungan (seminim mungkin) sehingga nyaris tak ada (invisible).
Konsep green marketing ini sungguh baik, apabila kita dapat mengimplementasikannya lebih menyeluruh ke seluruh bisnis proses yang kita miliki. Jangan sampai Anda hanya ikut-ikutan atau bahkan memanfaatkannya untuk mengambil hati para konsumen. berhati-hatilah karena konsumen Anda sudah pintar sekarang, jangan sampai Anda malah mendapatkan value negatif di benak mereka.
Jadi apakah re¬positioning go green Ades ini hanya sekedar ikut-ikutan atau bentuk peran serta Coca Cola Company dalam mendorong perubahan kebiasaan hidup masyarakat untuk lebih cinta lingkungan? Mari kita amati gerak-gerik Ades selanjutnya ya
creative sales
Posting Komentar